KEAJAIBAN AKUSTIKA BANGUNAN YUNANI KUNO

Sebagai orang Yunani kuno yang menempatkan beberapa batu terakhir di teater megah di Epidaurus pada abad keempat SM, mereka mungkin tidak tahu bahwa mereka tanpa sadar telah menciptakan filter akustik yang canggih. Tapi ketika penonton di barisan belakang mampu mendengar musik dan suara-suara dengan kejelasan luar biasa (sebelum teater memiliki kemewahan sound system seperti sekarang), orang-orang Yunani harus tahu bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang sangat tepat, karena banyak arsitek yang berupaya untuk menduplikasi desain Epidaurus, tetapi tidak pernah berhasil

theater_at_epidaurus-@akustika.co.id
UNITED STATES - JUNE 16:  The Georgia Institute of Technology campus is pictured on Friday, June 16, 2006 in Atlanta, Georgia. Tuition for Stephen McNearney?s first year at the Georgia Institute of Technology?s engineering school, the largest in the U.S., cost $3,882. Tuition for Stephen McNearney's second year at the Georgia Institute of Technology, which has the largest U.S. engineering school, will be $3,892. If he had attended the Massachusetts Institute of Technology, which has the top-ranked program, the bill would have been nine times as much.  (Photo by Philip Mccollum/Bloomberg via Getty Images)

Para peneliti di Georgia Institute of Technology telah menunjukan faktor yang sulit dipahami yang membuat ampitheater kuno menjadi bangunan yang memiliki keajaiban akustik. Ini bukan karna lereng, atau angin – itu hanya karena kursi. Barisan kursi yang terbuat dari batu kapur di Epidaurus membentuk filter akustik yang begitu efisien, hembusan latar kebisingan ( background noise ) yang memiliki frekuensi rendah menjadi seperti gumaman yang berasal dari keramaian dan memantulkan frekuensi tinggi dari bagian belakang panggung performer, menuju kebagian depan kursi penonton serta membawa suara aktor sampai kebagian paling belakang penonton.

sehingga gelak suara latar frekuensi rendah seperti gumaman kerumunan dan memantulkan suara frekuensi tinggi dari para pemain di kursi panggung dan kembali kepada penonton yang sedang duduk, membawa suara seorang aktor berjalan sampai ke baris belakang teater.

Penelitian yang dilakukan oleh akustisi dan ahli ultrasonik Nico Declercq seorang asisten profesor di Woodruff School of Mechanical Engineering di Georgia Tech dan Georgia Tech Lorraine di Perancis, dan Cindy Dekeyser, seorang engineer yang terpesona oleh sejarah Yunani kuno ini, menerbitkan jurnal edisi April di Journal of Acoustic Society of America.

research-@akustika.co.id

Sementara banyak ahli berspekulasi tentang kemungkinan penyebab terjadinya keajaiban akustik pada theatre Epidaurus, beberapa menduga bahwa kursi itu sendiri adalah rahasia sukses akustik nya. Ada teori yang mengatakan angin yang berhembus terutama dari panggung menuju penonton adalah penyebabnya, sementara beberapa pendapat yang lain mengatakan, kemungkinan topeng yang digunakan bertindak sebagai pengeras suara primitif atau irama bicara orang Yunani. Teori-teori yang lebih teknis lainnya yang dapat dipertimbangkan adalah mengenai kemiringan baris kursi.

Ketika Declercq ditentukan untuk memecahkan misteri akustik di Epidaurus, dia juga punya ide yang salah tentang bagaimana Epidaurus memiliki kemampuan suara yang begitu baik. Dia menduga bahwa bahan struktur batu kapur teater yang bergelombang, atau bergerigi, bertindak sebagai filter untuk gelombang suara pada frekuensi tertentu, tetapi ia tidak mengatakan seberapa baik batu kapur tersebut untuk mengendalikan kebisingan latar.

“Ketika saya pertama kali menangani masalah ini, saya berpikir bahwa efek akustik yang dihasilkan ini adalah karena permukaan batu kapur yang menanjak dan bergelombang tidak memiliki peredam,” kata Declercq. “Sementara suara-suara dari para pemain yang sedang melakukan pertunjukan bergerak, saya tidak mengantisipasi bahwa frekuensi rendah juga disaring sampai batas tertentu.”

Tetapi tim Declercq telah melakukan experimen dengan gelombang ultrasonik dan simulasi numerik pada akustik theatre, mereka menemukan bahwa frekuensi sampai dengan 500 Hz seperti tertahan dan frekuensi di atas 500 Hz diperkuat. Permukaan kursi yang bergelombang menciptakan efek yang mirip dengan material akustik padding lancip yang terletak di dinding atau di sebuah garasi parkir.

Jadi, bagaimana penonton mendengar frekuensi yang lebih rendah dari suara aktor jika suara frekuensi rendah mengalami pelemahan? jawabannya sederhana, kata Declercq. Otak manusia mampu merekonstruksi frekuensi hilang melalui sebuah fenomena yang disebut virtual pitch.
Virtual pitch membantu kita menghargai suara yang tidak lengkap yang berasal dari pengeras suara kecil (di laptop atau telepon), meskipun frekuensi rendah (bass) tidak dihasilkan oleh speaker kecil.

Theatre saat ini memiliki jenis kursi dan material yang berbeda-beda, hal ini memiliki peranan besar dalam meninggalkan desain theatre Epidaurus yang original. Sehingga sulit untuk menyamai kualitas akustik yang mirip dengan Amphitheatre Epidaurus.